Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas "Sosiologi Politik " yang di ampu oleh Bpk. Ana Maulana, Drs., M.Pd.

Jurusan PPKN Kelas 3B STKIP- Garut


Jumat, 08 April 2011

Mendemokrasikan Hak Prerogatif
Kemutlakan penghapusan hak prerogatif sebagai syarat demokrasi itu, secara analog, mirip negara sipil yang mensyaratkan penghapusan dwifungsi. Sebab, hak prerogatif itu menjadi "makhluk" aneh dalam jagat demokrasi. Ia kontradiktoris dengan demokrasi, feo
dal, sebab hak prerogatif membuat presiden bisa membuat keputusan menurut selera dan mood-nya sendiri tanpa bisa dirintangi oleh siapa pun.

Tapi alih-alih menghapus, bahkan sekadar menggugat hak prerogatif itu saja, tidak mudah. "Perlawanan" terhadapnya, pada taraf paling awal, sudah dihadang dua perkara serius.

Pertama, mungkinkah menggugat hak prerogatif, tanpa melawan UUD yang mendasari hak prerogatif? Jika penggugatan dianggap inkonstitisional sehingga hak prerogatif sudah harga mati, apa jaminannya presiden memberlakukan hak prerogatifnya secara tepat dan ti
dak melawan rasa keadilan publik? Jaminannya ya presiden sendiri. Tinggal percaya atau tidak.

Kedua, masuk akalkah mekanisme kekuasaan horizontal bertumpu cuma pada kepercayaan? Bagaimana kalau ada kekeliruan? Kepada siapa kekeliruan itu dipertanggungjawabkan? Kepada Tuhan? Tapi Tuhan berada di Surga. Apakah itu adil? Sebab yang bakal terkena damp
aknya manusia-manusia di bumi. Apa garansinya, pemegang hak prerogatif tak bisa keliru?

Dua perkara di atas makin menegaskan kefeodalan dan firaunisme hak prerogatif, sehingga memang pantas dihapus! Tujuan utama menghapus hak prerogatif, dalam arti meninjau kembali kriteria dan segala ikutannya termasuk landasan konstitusional yang mendasari
nya, adalah membela rasa keadilan publik berdasarkan prinsip demokrasi yang rasional dan normal.

Tapi mengingat kita masih belajar berdemokrasi, gagasan penghapusan hak prerogatif itu bisa "menggemparkan". Mungkin harus dilakukan secara bertahap. Dan salah satu tahap awal itu adalah "mendemokrasikan" hak prerogatif, dengan lima langkah pemikiran ber
ikut.

Pertama, hak prerogatif itu sejatinya "hadiah" konstitusi yang lebih mengacu kepercayaan dan moral. Ia amat berbahaya di tangan presiden yang tidak bijaksana, dalam arti tidak bermoral dan tidak bisa dipercaya. Secara intrinsik hak prerogatif memungkinkan
kesewenang-wenangan, sebab tidak ada mekanisme kontrolnya. Juga, tidak ada kewajiban presiden untuk minta pertimbangan siapa pun untuk menggunakan hak itu - itulah sebabnya disebut prerogatif.

Kedua, hak preprogatif memerlukan "aturan main" yang tepat menyangkut kriteria, alat dan cara-cara pengaturannya, sehingga bisa "dikendalikan". Misalnya diatur tentang hak prerogatif yang bisa mutlak atau yang harus ada pertimbangan dari DPR/MPR atau lemb
aga negara yang lain. Tujuannya agar hak prerogatif itu digunakan secara tepat, tidak sembarangan, dan tidak menjadi perlindungan atau topeng bagi keputusan yang sewenang-wenang. Maka mekanisme kontrol penggunaannya menjadi mutlak.

Ketiga, butir kedua mensyaratkan ketersediaan sistem check and balances antar lembaga tinggi negara. Artinya, penggunaan hak prerogatif selalu dikonsultasikan lebih dulu dengan lembaga-lembaga yang representatif. Untuk itu sikap etis dan kultural memang
dibutuhkan (tapi tidak terlalu penting sebab norma/batasan etis dan kultur itu tidak pernah bisa dirumuskan sampai kiamat), tetapi lebih penting adalah acuan/norma legal yang memuat kewajiban dan tanggung jawab dalam hak prerogatif, yang selalu bisa dirum
uskan batasan-batasannya. Misalnya, kewajiban harus meminta masukan dari lembaga tinggi negara lain (yang harus jelas ukuran kuantitas, frekuensi dan kualitasnya), sebelum presiden mempergunakan hak prerogatifnya.

Keempat, untuk membatasi hak prerogatif presiden perlu suatu UU tentang lembaga kepresidenan. Mengingat yang mengatur hak prerogatif presiden adalah UUD, maka untuk mengubahnya harus digunakan "alat" yang sederajat atau lebih tinggi, bukan oleh produk huk
um yang lebih rendah.

Kelima, konsekuensi butir keempat adalah perlu reformasi konstitusi (UUD 1945), sehingga hak prerogatif presiden yang amat strategis itu bisa "diatur kembali" dan atau diamandemen. Selama hak prerogatif presiden dalam UUD 1945 yang menganut sistem pemusat
an kekuasaan pada presiden alias tanpa check and balances masih dipertahankan seperti sekarang, maka apa pun keputusan presiden berdasarkan hak prerogatifnya adalah sah.

0 komentar:

Posting Komentar